Sabtu, 09 Juli 2011

Hollywood ‘Nggondok’, Pengusaha RI Terseok

Pemutaran perdana film Harry Potter And the Deathly Hallows Part 2, yang merupakan seri terakhir, di Inggris, Jumat (8/7) membuat nelangsa penggemar film Indonesia. Pasalnya kemungkinan besar film itu tak akan diputar di dalam negeri karena pemerintah masih silang pendapat--Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik memberi ‘lampu hijau’, tapi Menteri Keuangan Agus Martowardoyo masih ‘mencekal’ karena pengimpor belum bayar tunggakan pajak royalti.

Tak kunjung ditemukannnya jalan keluar--hampir 2 bulan kisruh film impor terjadi--buntutnya membuat pelaku usaha Indonesia menjerit. Tak hanya pemilik bioskop yang gigit jari, tapi pengelola mal juga kehilangan pengunjung. Multiplier effect-nya, perputaran uang  di sektor ritel dan hiburan terseok.

Belum jelasnya regulasi ini membuat  produsen film Hollywood ‘nggondok’ (ngambek,Red). Mereka  belum mau mengekspor filmnya ke Indonesia, karena importir mereka di Indonesia, Satrya dan Camilla, masih ‘dicekal’ oleh Kemenkeu karena menunggak pajak royalti.

Selama ini Satrya Perkasa Esthetika merupakan importir film-film produksi Disney, Fox, dan Warner. Sementara Camilla Internusa Film mengimpor film-film produksi Columbia, Paramount, dan Universal. Enam anggota produsen film Hollywood atau MPAA (Motion Picture Assosiation οf America) yaitu Columbia, Disney, Fox, Paramount, Sony, dan Warner menghentikan suplai filmnya ke Indonesia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Johny Syafrudin, mengaku gemas dengan carut marut film impor ini. Johny mengaku sudah melakukan pertemuan dengan pemerintah termasuk dengan para importir, namun hasilnya masih nihil alias belum ada jalan keluar.

"Minggu lalu kita sudah rapat dengan Depkeu termasuk Bea Cukai, BKF (badan kebijakan fiskal), Dirjen yang memimpin. Juga para bioskop dan importir film kesimpulannya mereka (pemerintah) belum memberikan sinyal kompromi," ujarnya, Jumat (8/7).

Ia mengatakan saat ini kuncinya ada di MPAA apakah akan mengirimkan produksi film-filmnya ke Indonesia, dengan catatan pemerintah tak mempersoalkan pajak royalti impor film 10%. Padahal kata dia, importir film sudah menerima adanya aturan baru bea masuk spesifik yang sudah naik 100% termasuk pajak-pajak lainnya di luar royalti.

Seperti diketahui sebelumnya, dari tiga importir film yang ada, baru satu importir yang melunasi tunggakan pajak impor, sedangkan dua lainnya belum melakukan pembayaran atas tunggakan (pokok ditambah kewajiban) bea masuk impor film dengan total sekitar Rp 31 miliar. Jumlah ini sebenarnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan imbalan yang dibayarkan kepada produser film di luar negeri yang mencapai Rp 314 miliar. Catatan Bea Cukai, hingga kini ada 9 importir terdaftar, namun yang aktif mengimpor hanya 3 importir.

Sebagai catatan, pelanggaran pembayaran pajak film impor sepanjang tahun 2010 membuat negara kehilangan potensi pajak sekitar Rp 450 miliar.

Kisruh impor film itu sendiri telah memunculkan saling tuding antara dua kementerian, Kementerian Keuangan dan Kementerian Budaya Pariwisata. Kemenkeu menuding adanya monopoli terselubung di dalam importasi film asing, karena importir adalah juga pemain langsung pada bisnis bioskop di Indonesia. Munculnya perusahaan importir baru yang mendapatkan izin, dituding sebagai pemain lama yang hanya berganti ‘baju’.

Pengusaha bioskop, mengaku bingung dengan munculnya perbedaan sikap antara Menteri Keuangan dengan Menbudpar. Pemilik Blitzmegaplex, Ananda Siregar, mengatakan bisnisnya macet gara-gara kisruh ini. ”Mestinya saat ini masa panen, ada libur sekolah,” katanya.

Bahkan, Jika film impor masih menangguhkan penayangan di seluruh wilayah Indonesia, maka diprediksi negara akan menanggung kerugian sedikitnya Rp 200 miliar setahun. “Kerugian kami juga setara dengan itu, karena saat ini penonton anjlok 50%,”Katanya.

Pengusaha mal ikut menjerit. Mereka mengeluh jumlah pengunjung mal menciut akibat kisruh film impor. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan menyampaikan, besaran penurunan pengunjung pusat perbelanjaan mencapai 10%. "Penurunan pengunjung ada, ya 10% sih ada," katanya.

 Stefanus menambahkan, banyak pusat perbelanjaan yang akhirnya mengakali untuk mengajak orang-orang tetap berkunjung ke pusat perbelanjaan, dengan membuat acara-acara khusus. "Biar pengunjung datang, harus dibuatkan acara-acara yang lain," imbuhnya.

Ia menjelaskan dari jumlah kurang lebih 200 mal yang ada di Indonesia, rata-rata jumlah pengunjung setiap bulannya sangat variatif. Untuk mal skala besar rata-rata pengunjung bisa mencapai 1 juta orang per bulan, mal skala menengah 600.000 sampai 800.000 orang pengunjung, dan mal skala kecil sekitar 400.000 orang pengunjung.

Lari ke Luar Negeri
Wajar bila pelaku usaha Indonesia terseok karena kisruh film, pasalnya para penggemar film mengalihkan ‘belanja’ hiburannnya ke luar negeri. Fenomena menonton film Hollywood di luar negeri, Malaysia dan Singapura pun nyatanya benar-benar terjadi.

Salah seorang penggemar film, Gita karyawan bank di Jakarta misalnya, menyempatkan diri menyaksikan film ‘Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides’ di Malaysia. "Waktu ke Malaysia kemarin dalam sepekan gue nonton Black Swan, The Rommate, Scream 4 dan Red Riding Hood. Soalnya di Indonesia kan nggak tayang," paparnya.

Menurut Gita, ia kebingungan saat menonton di bioskop Indonesia. Pasalnya, ada beberapa film Hollywood yang sudah pernah tayang pada tahun lalu ditayangkan ulang."Ada film yang gue sudah tonton setahun lalu tayang lagi. Gue sampai bingung mau nonton apa. Akhirnya tanya orang bioskop," tutur wanita yang tengah melanjutkan S2 ini.

Di Surabaya, Dini mahasiswa salah satu PTS mengatakan sengaja mendatangi bioskop di Kuala Lumpur, Malaysia, pekan lalu, demi menyaksikan film-film Hollywood yang tengah menjadi box office.

Dini pun mengaku puas bisa menyaksikan film ‘Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides’, ‘X-Men: First Class’, dan ‘Kung Fu Panda 2’ di layar lebar. Dini berharap masalah pajak film segera diselesaikan dengan tuntas dan masyarakat bisa kembali menikmati film-film Hollywood.

Sementara itu mahasiswi salah satu universitas swasta di Jakarta, Alfiani berencana nonton film ‘Harry Potter and the Deathly Hallows - Part 2’ di Singapura pada akhir Juli 2011. Tiket pesawat pulang pergi ke Negeri Tetangga itu pun sudah ia kantongi.

"Mau ke Singapura tanggal 23 Juli khusus untuk nonton Harry Potter sekalian jalan-jalan. Soalnya saya penggemar berat Harry Potter," ujar Alfiani.

Alfiani yang mengaku mengoleksi seluruh novel Harry Potter ini sudah menyiapkan budget khusus untuk menonton film favoritnya tersebut. Menurut Alfiani, ia harus merogoh sekitar Rp3 juta untuk tiket pesawat pulang pergi. Biaya tersebut berasal dari tabungannya dan orangtua.viv,ins,dtc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Harry Potter - Golden Snitch 2